Alam Semesta : Integrasi Tuhan dan Kosmos

Sale!

Original price was: Rp 173.000.Current price is: Rp 169.600.


Mudjiono

2023, Cetakan pertama, 248 hlm

14,8 x 21 cm

Category:

Description

Dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran diri, mau tidak mau haruslah memiliki keyakinan pada sesuatu yang tidak terhingga dan tidak terbatas. Kalaulah seseorang itu adalah seorang ateis yang tidak percaya akan keberadaan Tuhan, maka dia pasti yakin bila ruang tempat alam semesta ini berada tidak memiliki batas dan tidak berhingga. Artinya bila orang tersebut dianggap sebagai pusat hipotesis alam semesta, ke arah mana pun ditarik sebuah garis, maka garis tersebut tidak akan berakhir atau berujung. Bisa jadi perjalanan garis tersebut harus menembus galaksi dan menembus miliaran bintang, namun tidak pernah berakhir, karena di balik semua materi tersebut selalu dijumpai ruang kosong. Anehnya keyakinan pada ruang kosong tak terhingga dan tidak terbatas ini juga sangat lazim dianut umat beragama apa pun, sehingga melahirkan paham creation ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan). Tidak mengherankan jika sebagian ilmuan dan filsuf menganggap agamawan tersebut tidak konsisten, karena bagaimana memetakan Tuhan dalam kekosongan ruang yang mutlak. Biasanya para agamawan menjawab dengan ngotot bahwasanya Tuhan tidak memerlukan ruang dan waktu. Ajaran dogmatis inilah yang semakin menjauhkan sebagian filsuf dan ilmuan dari agama. Sebagai lawan dari paham ateis, para penganut paham teis (ketuhanan), seharusnya meyakini bahwa yang tidak terbatas dan tidak terhingga adalah sesuatu yang memiliki kekuatan luar biasa atau Maha dalam segala hal. Dengan premis seperti ini, kaum beragama (agama apapun) kiranya sepakat bahwa yang menjadi suatu keniscayaan adalah sesuatu Yang Maha Pencipta, Sang Perancang Agung. Bagi umat Islam sudah tentu sepakat adanya Zat Allah yang bersifat Zahir yang meliputi segala sesuatu. Bagi kaum Nasrani mungkin inilah yang disebut Tuhan Bapa, sementara itu umat beragama lain tentunya memiliki sebutan khusus disamping mereka meyakini adanya Dewa-Dewa yang dirasa lebih dekat dengan mereka. Memetakan Tuhan memang belum menjadi suatu kelaziman, namun untuk mendapatkan pemahaman yang objektif pada penciptaan alam semesta, ruang, dan waktu, maka memetakan Zat Tuhan menjadi suatu keniscayaan. Sangatlah wajar, manusia memetakan Sang Pencipta terlebih dahulu, sebelum memetakan atau memosisikan alam semesta sebagai ciptaan-Nya. Sang Khalik yang eksistensinya menjadi suatu keniscayaan, ketika berkehendak menciptakan sesuatu, maka dengan bebas mewujudkan kehendak-Nya. Sudah tentu sesuatu yang diciptakan adalah sesuatu yang terbatas dan berada di dalam dan berasal dari Zat Tuhan itu sendiri. Inilah makna “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”, bahwa segala suatu berasal dari Allah dan pada waktunya akan kembali kepada Zat Allah. Mengacu pada Al Qur’an, bahwa penciptaan alam semesta dalam enam masa atau periode, maka pada periode pertama sudah tentu Allah menciptakan bahan alam semesta yang dalam hal ini berasal dari Zat Allah sendiri yang dibatasi atau dikungkung oleh ‘arsy yang kokoh. Di sini membuktikan kebenaran perlunya memetakan Zat Allah, karena dalam creation ex nihilo umat manusia, khususnya umat Islam sangatlah sulit dan rancu dalam memahami penciptaan langit. Bagaimana mungkin kita membayangkan penciptaan ruang padahal ruang itu sendiri sudah diposisikan sudah ada selamanya. Dalam penciptaan dari ketiadaan hanya bisa membayangkan penciptaan materi, semisal teori Big Bang walaupun masih rancu dari mana materi tersebut berasal. Pasalnya ilmuan kebanyakan tidak pernah memosisikan Tuhan dalam penciptaan alam semesta ini. Dari uraian di atas kiranya pembaca akan mudah memahami proses penciptaan versi Al Qur’an. Dengan demikian umat manusia semakin yakin akan adanya Sang Perancang Agung.